Jumat, 29 Maret 2013

Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (pasal 28 I ayat 1)

Hak Untuk Tidak Dituntut Atas Dasar Hukum Yang Berlaku Surut

BAB I
PENDAHULUAN

PROSES AMANDEMEN UUD 1945

Seiring dengan bergulirnya reformasi tahun 1998, pada saat itu mulai secara deras bermunculan keinginan dari berbagai kalangan elemen masyarakat baik kalangan masyarakat umum, para akademisi, lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau elemen masyarakat lainnya yang menginginkan agar dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945.
Munculnya keinginan amandemen disebabkan karena pada waktu itu UUD 1945 dinilai mengandung kelemahan-kelemahan yang cukup berarti. Menurut pendapat dari Prof.Dr.Moh Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi RI saat ini), kelemahan dari UUD 1945 adalah :
  1. UUD 1945 membangun sistem politik yang sifatnya executive heavy dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan Presiden tanpa adanya mekanisme check and balances yang memadai;
  2. UUD 1945 terlalu banyak memberi atribusi dan delegasi kewenangan kepada Presiden untuk mengatur lagi hal-hal penting dengan Undang-undang maupun dengan Peraturan Pemerintah
  3. UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multi tafsir sehingga bisa ditafsirkan dengan bermacam-macam tafsir, tetapi tafsir yang harus diterima adalah tafsir yang dibuat oleh Presiden.
  4. UUD 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggara Negara daripada sistemnya itu sendiri
Akibat dari kelemahan-kelemahan di atas menyebabkan tidak terwujudnya iklim kehidupan bernegara yang demokratis karena begitu dominannya peran dari kekuasaan eksekutif (yang dipimpin oleh Presiden) yang seolah-olah tidak boleh dikritisi ataupun digugat dengan alasan apapun.

Untuk memenuhi serta mengakomodir tuntutan dan keinginan dari berbagai elemen masyarakat untuk melakukan amandemen atas UUD 1945, Presiden BJ Habibie waktu itu membentuk Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan yang menjadi bagian dari Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani dengan tujuan untuk melakukan kajian komprehensif atas aspek hukum peraturan dan perundang-undangan, dalam hal ini termasuk juga konstitusi UUD 1945, agar selaras dengan tuntutan reformasi. Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan mengingat kelemahan-kelemahandan kekosongan dalam UUD 1945 sebelum perubahan. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain :

1. Struktur UUD 1945
Struktur UUD 1945 menempatkan dan memberikan kekuasaan yang sangat besar terhadap Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Karena itu, sering muncul anggapan bahwa UUD 1945 sangat executive heavy. Presiden tidak hanya sebagai pemegang dan menjalankan kekuasaan pemerintahan (chief executive), tetapi juga menjalankan kekuasaan untuk membentuk undang-undang, disamping hak konstitusional khusus (lazim disebut hak prerogatif) memberi grasi,amnesti, abolisi, dan lain-lain. Apabila dibandingkan, cakupan kekuasaan Presiden Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 secara formal lebih besar dari kekuasaan Presiden Amerika Serikat yang juga merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan. Presiden Amerika Serikat, menurut UUD, tidak mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang (tidak mempunyai kekuasaan untuk melakukan inisiatif dan turut serta dalam proses pembentukan undang-undang). Presiden Amerika Serikat hanya mengesahkan atau memveto suatu rancangan undang-undang.

2. Berkaitan dengan Sistem "Checks and Balances"
Struktur UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances antar cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak melampaui wewenang. Akibatnya, kekuasaan Presiden yang besar makin menguat karena tidak cukup mekanisme kendali dan pengimbang dari cabang-cabang kekuasaan yang lain. Misalnya tidak terdapat ketentuan yang mengatur pembatasan wewenang Presiden menolak mengesahkan suatu Rancangan Undang-Undang yang sudah disetujui DPR (sebagai wakil rakyat). Tidak ada pembatasan mengenai luas lingkup Perpu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sehingga dapat dihindari kemungkinan penyalahgunaannya, sistem penunjukan Menteri dan pejabat publik lainnya seperti Panglima, Kepala Kepolisian, Pimpinan Bank Sentral, dan Jaksa Agung yang semata-mata dianggap sebagai wewenang mutlak (hak prerogatif) Presiden, termasuk tidak membatasi pemilihan kembali Presiden (sebelum diatur dalam TAP MPR 1998).

3. Ketentuan-Ketentuan yang Tidak Jelas
a. Terdapat berbagai ketentuan yang tidak jelas (vague), yang membuka peluang penafsiran yang bertentangan dengan prinsip Negara berdasarkan konstitusi. Misalnya ketentuan tentang pemilihan kembali Presiden ("... dan sesudahnya dapat dipilih kembali"). Ketentuan ini menumbuhkan praktik, Presiden yang sama dipilih terus menerus, tanpa mengindahkan sistem pembatasan kekuasaan sebagai suatu prinsip dasar negara berdasarkan konstitusi (konstitusionalisme).
b. Demikian pula ketentuan yang menyatakan "Kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat". Dengan ungkapan "dilakukan sepenuhnya", ada yang menafsirkan hanya MPR yang melakukan kedaulatan rakyat, sehingga DPR yang merupakan wakil rakyat dipandang tidak melaksanakan kedaulatan rakyat.
c. Begitu pula ketentuan mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Karena rumusannya tidak jelas menimbulkan pendapat bahwa selama undang-undangnya belum dibentuk, hak-hak tersebut belum efektif. Cara pemaknaan semacam ini tidak sesuai dengan pengertian hak asasi sebagai hak yang alami.

4. Ketentuan-Ketentuan Organik dalam UUD 1945
a. Struktur UUD 1945 banyak mengatur ketentuan organik (undang-undang organik) tanpa disertai arahan tertentu materi muatan yang harus diikuti atau dipedomani. Segala sesuatu diserahkan secara penuh kepada pembentuk undang-undang. Akibatnya, dapat terjadi perbedaan-perbedaan antara undang-undang organik yang serupa atau objek yang sama, meskipun sama-sama dibuat atas dasar UUD 1945.
b. Sebagai contoh dari gambaran di atas, misalnya UU No. 22 Tahun 1948 berbeda dengan UU No.18 Tahun 1965 dan UU No.5 Tahun 1974, dan UU No.22 Tahun 1999, meskipun semuanya dibuat berdasarkan UUD 1945 (Pasal 18). Demikian pula ketentuan tentang kekuasaan kehakiman terdapat perbedaan, misalnya antara UU No.19 Tahun 1964 dengan UU No.14 Tahun 1970.

5. Kedudukan Penjelasan UUD 1945
a. Tidak ada kelaziman UUD memiliki Penjelasan yang resmi. Apalagi kemudian, baik secara hukum atau kenyataan, Penjelasan diperlakukan dan mempunyai kekuatan hukum seperti UUD (Batang Tubuh). Penjelasan UUD 1945 bukan hasil kerja badan yang menyusun dan menetapkan UUD 1945 (BPUPKI dan PPKI), melainkan hasil kerja pribadi Supomo yang kemudian dimasukkan bersama-sama Batang Tubuh ke dalam Berita Republik Tahun 1946, dan kemudian dalam Lembaran Negara RI Tahun 1959 (Dekrit).
b. Dalam berbagai hal, Penjelasan mengandung muatan yang tidak konsisten dengan Batang Tubuh, dan memuat pula keterangan-keterangan yang semestinya menjadi materi muatan BatangTubuh.
Selain kekurangan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, sebagian kalangan masyarakat mengatakan bahwa kekurangan lain dari UUD 1945 adalah tidak mengakomodir secara penuh dan jelas mengenai jaminan dan pengakuan akan hak asasi manusia yang seharusnya dilakukan oleh Negara manapun yang mengklaim bahwa dirinya merupakan negara hukum, termasuk dalam hal ini adalah negara Indonesia.
Tidak terakomodirnya pengakuan dan jaminan hak asasi manusia secara penuh ini memang kalau dilacak kembali ke belakang berkaitan dengan kenyataan bahwa di antara para 'pendiri bangsa' yang membahas rancangan undang-undang dasar dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) pada tahun 1945, ide-ide hak asasi manusia (human rights) itu sendiri belum diterima secara luas. Para penyusun rancangan undang-undang dasar sependapat bahwa hukum dasar yang hendak disusun haruslah berdasarkan atas asas kekeluargaan, yaitu suatu asas yangsama sekali menentang paham liberaIisme dan individualisme.
Dalam Rancangan Undang-Undang Dasar yang disusun oleh Panitia Kecil sama sekali tidak dimuat ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia. Hal ini menimbulkan pertanyaan dari para anggota. Untuk menjawab hal itu, Soekarno sebagai salah seorang anggota Panitia Kecil berkata :
"Saja minta dan menangisi kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah sama sekali faham individualisme itu janganlah dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar kita yang dinamakan 'rights of the citizen' sebagai yang dianjurkan oleh Republik Perancis itu adanya. Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet menuliskan bahwa, manusia bukan saja mempunyai kemerdekaan suara, kemerdekaan hak memberi suara, mengadakan persidangan dan berapat, jika misalnya tidak ada 'sociale rechtvaardigheid' jang demikianitu? Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. 'Grondwet' yang berisi 'droit de l'homme et ducitoyen' itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, djikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya.
Hampir tidak berbeda dengan pendapat Ir. Soekarno di atas, anggota Panitia Kecil yang lain yaitu Prof.Dr.Soepomo menyatakan :
''Tadi dengan panjang lebar sudah diterangkan oleh anggota Soekarno bahwa, dalam pembukaan itu kita telah menolak aliran pikiran perseorangan. Kita menerima dan mengandjurkan aliran pikiran kekeluargaan. Oleh karena itu Undang-Undang Dasar kita tidak bisa lain dari pada pengandung sistim kekeluargaan. Tidak bisa kita memasukkan dalam Undang-Undang Dasar beberapa pasal-pasal tentang bentuk menurut aliran-aliran yang bertentangan. Misalnya dalam Undang-Undang Dasar kita tidak bisa memasukkan pasal-pasal yang tidak berdasarkan aliran kekeluargaan, meskipun sebetulnya kita ingin sekali memasukkan, di kemudian hari mungkin, umpamanya negara bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi djikalau hal itu kita masukkan, sebetulnya pada hakekatnya Undang-Undang Dasar itu berdasar atas sifat perseorangan, dengan demikian sistim Undang-Undang Dasar bertentangan dengan konstruksinya, hal itu sebagai konstruksi hukum tidak baik, djikalau ada kejadian bahwa Pemerintah bertindak sewenang-wenang"
Dengan demikian, baik bagi Soekarno maupun bagi Soepomo, paham kenegaraan yang dianggapnya paling cocok adalah paham integralistik, seperti yang tercermin dalam'sistim pemerintahan di desa-desa yang dicirikan dengan kesatuan hidup dan kesatuan kawulo 'gusti'. Dalam model ini, kehidupan antar manusia dan individu dilihat sebagai satu kesatuan yang saling berkaitan. Oleh karena itu, tidak boleh ada dikotomi antara negara dan individu warga negara, dan tidak boleh ada konflik di antara keduanya, sehingga tidak diperlukan jaminan apapun hak-hak dan kebebasan fundamental warganegara terhadap negara.
Sebelum dilakukan amandemen UUD 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI telah menegaskan bahwa tujuan dari Perubahan (amandemen) UUD 1945, antara lain :
  1. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan tidak bertentangan dengan UUD 1945 itu yang berdasarkan Pancasila dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  2. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi.
  3. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia agar sesuai dengan perkembangan paham hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945.
  4. Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem checks and balances yang lebih ketat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
  5. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sesuai harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan.
  6. Melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum.
  7. Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia dewasa ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.
Dari tujuan-tujuan yang telah ditetapkan oleh MPR sebagaimana tersebut di atas, terlihat jelas bahwa jaminan dan pengakuan atas hak asasi manusia secara lebih jelas, tegas dan eksplisit menjadi salah satu sasaran yang akan diwujudkan dan diakomodir dalam amandemen UUD 1945.
Tuntutan atau keinginan untuk dilakukan amandemen UUD 1945 akhirnya dipenuhi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945, yaitu :
  1. Sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
  2. Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
  4. Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
  5. Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap sejak tahun 1999 sampai dengan 2002 dalam sidang-sidang MPR. Setelah Perubahan Keempat UUD 1945 yang diputuskan MPR pada Sidang Tahunan 2002, pada saat itu pula MPR memutuskan untuk membentuk Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan MPR. Pembentukan Komisi Konstitusi ini dimuat dalam Ketetapan MPR No.I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.

Perubahan Pertama UU D 1945 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 1999 yang meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal20, dan Pasal 22 UUD 1945. Berdasarkan ketentuan pasal-pasal yang diubah, arah Perubahan Pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.
Perubahan Kedua UUD 1945 dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000 yang meliputi Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C UUD 1945. Perubahan Kedua ini meliputi masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah, menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat , dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang hak asasi manusia (HAM).
Perubahan Ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada SidangTahunan MPR Tahun 2001 mengubah dan atau menambah ketentuan-ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan (3), Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4), Pasal 6 ayat (1) dan (2), Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5), Pasal 7A, Pasal7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1)dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), BabVIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal 23 ayat (1),(2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2),dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan(6) UUD 1945. Materi Perubahan Ketiga UUD 1945 meliputi ketentuan tentang asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, dan ketentuan-ketentuan tentang Pemilihan Umum.
Perubahan Keempat UUD 1945 dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2002. Perubahan dan atau penambahan dalam Perubahan Keempat tersebut meliputi Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16, Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 32ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab IV, Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 37 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II UUD1945. Materi perubahan pada Perubahan Keempat adalah ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan antar lembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.

Perubahan-perubahan tersebut diatas meliputi hampir keseluruhan materi Undang-Undang Dasar 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, materi muatan UUD1945 mencakup 199 butir ketentuan. Bahkan hasil perubahan tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah konstitusi baru sama sekali dengan nama resmi "Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".

1. HAK ASASI MANUSIA DALAM UUD 1945SEBELUM AMANDEMEN
UUD 1945 sebelum diubah dengan Perubahan Kedua pada tahun 2000, hanya memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian hak asasi manusia. Pasal-pasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian hak asasi manusia itu adalah:
1) Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi, 'Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya';
2) Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi, 'Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan';
3) Pasal 28 yang berbunyi, 'Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang';
4) Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, 'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu';
5) Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi, 'Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara';
6) Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi, 'Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran';
7) Pasal 34 yang berbunyi, 'Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara'.
Namun, jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh, hanya 1 ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas hak asasi manusia, yaitu Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan, 'Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu'. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain, sama sekali bukanlah rumusan tentang hak asasi manusia atau human rights, melainkan hanya ketentuan mengenai hak warga negara atau the citizen's rights atau biasa juga disebut the citizen's constitutional rights. Hak konstitusional warga negara hanya berlaku bagi orang yang berstatus sebagai warga negara, sedangkan bagi orang asing tidak dijamin. Satu-satunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk, tanpa membedakan status kewarganegaraannya adalah Pasal 29 Ayat (2) tersebut. Selain itu, ketentuan Pasal 28 dapat dikatakan memang terkait dengan ide hak asasi manusia. Akan tetapi, Pasal 28 UUD 1945 belum memberikan jaminan konstitusional secara langsung dan tegas mengenai adanya 'kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan' bagi setiap orang, Pasal 28 hanya menentukan bahwa hal ikhwal mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan itu masih akan diatur lebih lanjut dan jaminan mengenai hal itu masih akan ditetapkan dengan undang-undang.
Sementara itu, lima ketentuan lainnya, yaitu sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan (2), Pasal 30Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1), dan Pasal 34, semuanya berkenaan dengan hak konstitusional warga negara Republik Indonesia, yang tidak berlaku bagi warga negara asing. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa yang sungguh-sungguh berkaitan dengan ketentuan hak asasi manusia hanya satu saja, yaitu Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945. Pendapat ini didukung dengan argumentasi bahwa jika diperhatikan, jalan pikiran yang berkembang di antara 'para pendiri bangsa' yang merumuskan naskah UUD 1945 memang tidak mengidealkan atau membahas gagasan tentang hak asasi manusia yang pada umumnya dianggap berbau liberalistis dan individualistis sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun sebagian kalangan berpendapat bahwa ketujuh ketentuan di atas semuanya terkait dengan hak asasi manusia (HAM), jadi tidak hanya pasal 28 saja.
2. HAK ASASI MANUSIA DALAM UUD 1945 PASCA AMANDEMEN
Setelah Perubahan Kedua UUD 1945 pada tahun 2000, ketentuan mengenai hak asasi manusia dan hak-hak warga negara dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar. Materi yang semula hanya berisi 7 butir ketentuan yang juga tidak seluruhnya dapat disebut sebagai jaminan konstitusional hak asasi manusia, sekarang telah bertambah secara sangat signifikan. Ketentuan baru yang diadopsikan ke dalam UUD 1945 setelah Perubahan Kedua pada tahun 2000 termuat dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, ditambah beberapa ketentuan lainnya yang tersebar di beberapa pasal. Karena itu, perumusan tentang hak-hak asasi manusia dalam konstitusi Republik Indonesia dapat dikatakan sangat lengkap dan menjadikan UUD 1945sebagai salah satu undang-undang dasar yang paling lengkap memuat ketentuan yang memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Keseluruhan materi mengenai ketentuan hak-hak asasi manusia dalam UUD 1945, yang apabila digabung dengan berbagai ketentuan yang terdapat dalam undang-undang yang berkenaan dengan hak asasi manusia, dapat kita kelompokkan dalam empat kelompok yang berisi 37 butir ketentuan. Diantara keempat kelompok hak asasi manusia tersebut, terdapat hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun atau non-derogable rights, yaitu:
1) Hak untuk hidup;
2) Hak untuk tidak disiksa;
3) Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;
4) Hak beragama;
5) Hak untuk tidak diperbudak;
6) Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; dan
7) Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Sedangkan keempat kelompok hak asasi manusia terdiri atas :
Pertama adalah kelompok ketentuan yang menyangkut hak-hak sipil yang meliputi:
1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya;
2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan;
3) Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan;
4) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya;
5) Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran, dan hati nurani;
6) Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum;
7) Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan;
8) Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut;
9) Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah;
10) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan;
11) Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan, dan kembali ke negaranya;
12) Setiap orang berhak memperoleh suaka politik;
13) Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
Kedua, kelompok hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang meliputi:
1) Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapatnya secara damai dengan lisan dan tulisan;
2) Setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat;
3) Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik;
4) Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan;
5) Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan;
6) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi;
7) Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat;
8) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi;
9) Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran;
10) Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia;
11) Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa-bangsa;
12) Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional;
13) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing, dan untuk beribadat menurut kepercayaannya itu.
Ketiga, kelompok hak-hak khusus dan hak atas pembangunan yang meliputi:
1) Setiap warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama;
2) Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk mendapai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional;
3) Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum;
4) Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian, dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya;
5) Setiap warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam;
6) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
7) Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminatif dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus tersebut tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi.
Keempat, kelompok yang mengatur mengenai tanggung jawab negara dan kewajiban asasi manusia yang meliputi:
1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas, dan kesusilaan, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis;
3) Negara bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia;
4) Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan,dan kedudukannya diatur dengan undang-undang.
BAB II
PERUMUSAN MASALAH
Pada tanggal 4 April 2003, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang No.16 Tahun 2003 tentang Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002.
Konsekuensi dari adanya UU ini di antaranya adalah siapa pun yang terlibat dalam tindak pidana terorisme pada peristiwa bom Bali tanggal 12 Oktober 2002 akan diancam dengan hukuman pidana berdasarkan Undang-undang ini. Padahal UU ini disahkan setelah kejadian bom Bali tersebut. Hal ini tentunya bertentangan dengan asas non retroaktif (tidak boleh berlaku surut) dalam hukum pidana dan bertentangan juga dengan hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 pasal 28I yang berbunyi : "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hatinurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapatdikurangi dalam keadaan apa pun".
Dengan alasan ini pulalah seorang bernama Maskur Abdul Kadir, terdakwa dalam kasus tindak pidana terorisme bom Bali, mengajukan uji materi (judicial review) atas UU No.16 Tahun 2003 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Alasan tersebut tentulah sangat logis dan rasional mengingat pemberlakuan UU No.16 Tahun 2003 tersebut jelas-jelas melanggar asas non retroaktif dan bertentangan dengan pasal 28I UUD 1945.
Selanjutnya dari uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam pembahasan ini adalah :
  1. Apakah yang menjadi sebab/alasan Pemerintah dan juga DPR dengan memberlakukan UU No.16 Tahun 2003, padahal secara jelas dan nyata bahwa hal itu bertentangan dengan asas non retroaktif dan bertentangan dengan hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 yaitu hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun, sebagaimana yang didalilkan oleh terdakwa kasus bom Bali yaitu Maskur Abdul Kadir ketika mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi ? Tentu juga perlu dipertanyakan apa sebab/alasan Pemerintah membuat PERPPU No.1 Tahun 2002 dan PERPPU No.2 Tahun 2002 mengingat UU No.16 Tahun 2003 berawal dari adanya kedua PERPPU ini.
  2. Bagaimanakah putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU No.16 Tahun 2003 ini ? Terutama mengenai bagaimana memahami pasal 28I yang menjadi batu uji dalam uji materi ini, mengingat dalam pasal ini terdapat frasa kata "tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun".Tentunya menarik untuk mengkaji bagaimana Mahkamah Konstitusi menafsirkan pasal ini mengingat Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai penafsir final UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia.
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
A. POKOK PIKIRAN YANG MELANDASI PERPPU NO.1 TAHUN 2002 DAN PERPPU NO.2 TAHUN 2002
Pada persidangan di Mahkamah Konstitusi tanggal 10 Desember 2003, pihak Pemerintah yang waktu itu diwakili oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia yaitu Prof.Dr.Yusril Ihza Mahendra, SH, memberikan keterangan atas uji materi UU No.16 Tahun 2003 sebagai berikut :
  1. Bahwa sebagaimana dimaklumi, pada tanggal 18 Oktober 2002 Presiden Republik Indonesia telah menetapkan 2 (dua) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu), yakni Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002.
  2. Bahwa kedua Perpu tersebut ditetapkan oleh Presiden berdasarkan kewenangan konstitusional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 22 ayat (1) menentukan bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang. Selanjutnya ketentuan dalam Pasal 22 ayat (2) menentukan bahwa peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Kemudian Pasal 22 ayat (3) menyatakan jika tidak mendapatkan persetujuan maka peraturan pemerintah itu harus dicabut.
  3. Bahwa sejalan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di atas, kedua Perpu tersebut diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan kemudian disetujui menjadi Undang-undang, masing-masing melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak pada Terorisme menjadi Undang-undang dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 menjadi Undang-undang.
  4. Bahwa Lahirnya kedua Perpu di atas yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Undang-undang sepenuhnya didasarkan pada kenyataan obyektif yang kita hadapi yang menuntut tanggung jawab kitabersama. Serangkaian peristiwa peledakan bom yang terjadi di beberapa bagian Wilayah Negara Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dan peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, telah mempunyai dampak luas dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional, bahkan dapat berpengaruh pada keutuhan dan integritas bangsa dan negara. Tindakan para pelaku terorisme tidak saja telah merenggut begitu banyak nyawa orang tak berdosa dan kerugian harta benda, tetapi telah pula mencederai kedaulatan dan integritas negara, termasuk di bidang ekonomi serta dalam hubungan internasional.
  5. Bahwa dalam menanggapi peristiwa peledakan bom di Bali tersebut, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan pula Resolusi Nomor 1438 (2002) yang mengutuk sekeras-kerasnya peledakan bom itu, menyampaikan duka cita dan simpati kepada Pemerintah dan Rakyat Indonesia serta para korban dan keluarganya; dan dengan merujuk Resolusi Nomor 1373 (2001) menyerukan kepada semua negara untuk bekerjasama mendukung dan membantu Pemerintah Indonesia untuk mengungkap semua pelaku yang terkait dengan peristiwa itu dan membawanya ke pengadilan.
  6. Bahwa di samping kenyataan obyektif yang kita hadapi, kebijakan kriminalisasi tindakan terorisme juga menunjukkan konsistensi komitmen negara kita dalam ikut serta memelihara dan menciptakan perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terorisme, sebagaimana ditunjukkan dalam berbagai instrumen hukum internasional, merupakan ancaman besar yang membayangi upaya masyarakat bangsa-bangsa dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional, serta dalam meningkatkan hubungan persahabatan dan bertetangga yang baik dan kerjasama antar negara.
  7. Bahwa sudah menjadi pengetahuan kita bersama dalam beberapa dekade terakhir ini terorisme telah menjadi fenomena umum yang terjadi di banyak negara. Berbagai peristiwa terorisme yang terjadi menunjukkan bahwa terorisme telah menjadi kejahatan lintas negara, terorganisasi dengan jaringan yang luas, sehingga telah menjadi kejahatan yang bersifat internasional. Terorisme tidak hanya melibatkan warga negara dari satu negara, dan sasarannya pun tidak hanya negara tertentu, tetapi dapat terjadi di negara mana saja.
  8. Bahwa terorisme kini tidak lagi dipandang sebagai kejahatan biasa, tetapi telah dikategorikan sebagai "kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), dan bahkan dapat dikategorikan pula sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity)". Terorisme selalu menggunakan ancaman atau kekerasan serta mengakibatkan hilangnya begitu banyak nyawa tanpa memandang siapa yang akan menjadi korban, penghancuran dan pemusnahan harta benda, lingkungan hidup, sumber-sumber ekonomi, menimbulkan kegoncangan kehidupan sosial dan politik, dan bahkan pada tingkat tertentu dapat menjadi ancaman terhadap keberadaan dan kelangsungan hidup suatu bangsa dan negara.
  9. Bahwa komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi internasional, yang menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Beberapa konvensi internasional yang dapat disebut, antara lain International Convention for the Suppression of Terrorist Bombings, 1997, dan International Cortvention for the Suppression of Fiturncing of Terrorism, 1999. Di tingkat regional juga menunjukkan perkembangan serupa, seperti di kalangan Masyarakat Eropa telah ditandatangani European Convention on the Supression of Terrorism, 1978, di lingkungan Negara-negara Arab terdapat The Arab Convention on the Supression of Terrorism, 1998, dan Asosiasi Kerjasama Regional Negara-negara Asia Selatan memiliki SAARC Regional Convention on Suppression of Terrorism 1987.
  10. Bahwa Indonesia sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa mempunyai kewajiban mendukung dan mengambil langkah-langkah dalam pemberantasan terorisme karena merupakan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di muka, pokok-pokok pikiran yang melandasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 adalah :
  1. Sejalan dengan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan.
  2. Terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan langkah-langkah pemberantasan.
  3. Terorisme mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.
  4. Pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme.
  5. Peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat ini belum secara komprehensif dan memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme.
Adapun yang menjadi pokok-pokok pikiran yang menjadi dasar Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada peristiwa Peledakan Bom di Bali Tanggal 12 Oktober 2002, yang telah ditetapkan menjadi undang-undang Nomor 16 Tahun 2003, adalah sebagai berikut :
  1. Peristiwa pemboman yang terjadi di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 telah menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas serta mengakibatkan hilangnya nyawa dan kerugian harta benda;
  2. Peristiwa pemboman yang terjadi di Bali telah membawa dampak yang luas terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan internasional serta mengancam perdamaian dan keamanan internasional, sehingga Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan Resolusi Nomor 1438 (2002) dan Resolusi Nomor 1373 (2001);
  3. Untuk memberi landasan hukum yang kuat dalam mengambil langkah-langkah segera dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan atas peristiwa pemboman yang terjadi di Bali, telah diundangkan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
B. TANGGAPAN PEMERINTAH DAN DPR
Atas permohonan uji materi UU No.16 Tahun 2003, Pemerintah dan DPR memberikan keterangan dan pendapatnya yang pada pokoknya dapat disimpulkan sebagai berikut :
  1. Pengakuan secara tegas bahwa Pemerintah dan DPR telah memberlakukan asas retroaktif terhadap peristiwa Bom Bali pada umumnya dan terhadap Pemohon (dalam hal ini adalah Maskur Abdul Kadir) pada khususnya.
  2. Bahwa menurut Pemerintah dan DPR, pemberlakukan hukum secara surut terhadap peristiwa bom Bali (termasuk Pemohon) adalah sah karena peristiwa tersebut adalah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
  3. Bahwa menurut pendapat Pemerintah dan DPR, Pasal 281 UUD 1945 tidak berdiri sendiri namun berhubungan dengan Pasal 28J, sehingga berlakunya Pasal 28I tidak mutlak karena dibatasi oleh berlakunya Pasal 28J. Adapun bunyi pasal 28J UUD 1945 yaitu :
  4. Pasal 1 : "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara"
  5. Pasal 2 : "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
C. PENDAPAT AHLI
Untuk memperkuat argumentasinya, Pemohon dalam hal ini adalah Maskur Abdul Kadir, menghadirkan 2 orang saksi ahli yang memiliki kompetensi untuk dimintai keterangannya sebagai ahli yang relevan dengan perkara uji materi ini yaitu :
  1. Prof. Dr. Harun al Rasyid, SH. (Guru Besar Hukum Tata Negara UI)
  2. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, SH. (Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Fak. Hukum UI).
Pokok-pokok kesaksian ahli Prof. Dr.Harun Alrasid, SH. adalah sebagai berikut :
  1. Pemberlakukan asas retroaktif tidak dapat dibenarkan karena bertentangan dengan dengan asas "nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali" yang terpatri dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.
  2. Perpu No. 2 tahun 2002 jo. Undang-undang No. 16 tahun 2003 adalah suatu peraturan yang memberlakukan secara surut Perpu No. 1 Tahun 2002 jo. Undang-undang No 15/2003).
  3. Perpu No. 1 Tahun 2002 jo. Undang-undang No 15/2003 seharusnya berlaku terhadap setiap tindak pidana terorisme yang dilakukan sejak tanggal berlakunya, yaitu 18 Oktober 2002. Memberlakukan secara surut peraturan ini bertentangan dengan asas dasar (grondbeginsel) dalam sistem hukum pidana Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Hal ini juga diperkuat oleh ketentuan Pasal 28I dari UUD.
  4. Larangan memberlakukan secara surut suatu undang-undang juga dilarangoleh Konstitusi Amerika Serikat.
  5. Arti kata "dalam keadaan apapun" sebagaimana termuat dalam Pasal 28I berarti sama sekali tidak boleh ada pengecualian sehingga sama sekali tidak boleh ada pengurangan terhadap hak terdakwa.
Sedangkan pokok-pokok kesaksian ahli Prof. Dr.Maria Farida Indrati, SH. adalah sebagai berikut :
  1. Pemberlakuan surut suatu Undang-Undang adalah dilarang karena bertentangan dengan asas legalitas dan bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia, khususnya bertentangan dengan Pasal 28I UUD 1945.
  2. UUD 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia sama sekali menolak pemberlakukan hukum secara surut. UUD kita menganut asas non-retroaktif.
  3. Hak seseorang untuk tidak dapat dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah merupakan hak yang dijamin oleh UUD 1945 khususnya Pasal 28I. Hak ini sama sekali tidak boleh dikurangi. Pasal berikutnya yaitu Pasal 28J dari UUD 1945 bukanlah pasal yang membatasi berlakunya Pasal 28I namun justru memperkuat berlakunya pasal 28I.
  4. Hukum internasional baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, tidak dapat diberlakukan di Indonesia apabila hal itu bertentangan dengan UUD 1945 sebagai hukum yang tertinggi di Republik Indonesia.
  5. Tentang berlakunya Amandemen Kedua UUD 1945, yang di dalam naskahnya tidak terdapat ketentuan tanggal berlakunya, hal ini tidak berarti Amandemen Kedua belum pernah berlaku, namun hal tersebut adalah suatu kekhilafan yang sebetulnya telah diperbaiki oleh Amandemen Keempat konsideran huruf "b". Sehingga menurut ahli, Amandemen Kedua telah berlaku sejak tanggal 18 Agustus 2000.
D. PERTIMBANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Setelah mendengarkan keterangan Maskur Abdul Kadir selaku Pemohon, kemudian keterangan serta tanggapan Pemerintah dan DPR serta pendapat ahli, Mahkamah Konstitusi menguraikan pertimbangan hukumnya sebagai berikut :
  1. Menimbang bahwa terlebih dahulu perlu dibedakan antara pengertian (makna) Undang-undang yang berlaku surut dengan pembenaran (justifikasi) pemberlakuan surut suatu undang-undang. Suatu undang-undang dikatakan berlaku surut jika keberlakuan efektifnya dinyatakan mundur ke belakang, yang berarti mengatur suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang sebelum undang-undang itu diundangkan. Berdasarkan pengertian dimaksud, maka Undang-undang No. 16 Tahun 2003 yang memberlakukan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 yang diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2002 terhadap peristiwa peledakan bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 merupakan undang-undang yang berlaku surut (ex post facto law).
  2. Menimbang bahwa sebagaimana diuraikan selanjutnya, hingga kini dalam ilmu hukum masih terdapat pro dan kontra terhadap pembenaran (justifikasi) atau penyangkalan terhadap pemberlakuan surut suatu undang-undang. Baik mereka yang berpendapat tidak membenarkan pemberlakuan surut suatu undang-undang yang hingga kini tetap dominan, maupun mereka yang berpendapat membenarkan pemberlakuan surut suatu undang-undang, keduanya pada hakikatnya sama berpendapat bahwa pemberlakuan surut undang-undang merupakan suatu pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan standar perikemanusiaan sebagaimana dinyatakan oleh World Organization Against Torture, USA.
  3. Menimbang memang ada kelompok pendapat yang membenarkan bahwa dalam keadaan tertentu asas tidak berlaku surut dapat dikesampingkan (non-rectroactive principles dari World Organization Against Torture) dengan mengajukan 6 (enam) alasan (argumen) sebagai berikut :
    1. Argumen Gustav Radbruch, yang menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat dihukum walaupun ketika dilakukan perbuatan itu belum dinyatakan sebagai perbuatan pidana (crime), karena asas superioritas keadilan bisa mengesampingkan asas non-retroaktif. Namun, Radbruch tetap meyakini bahwa asas non-retroaktif sedemikian pentingnya, sehingga pengesampingan asas tersebut hanya boleh dilakukan dalam situasi yang sangat ekstrim, sepertiyang pernah diterapkan pada rezim Nazi yang telah melakukan tindakan pemusnahan peradaban.
    2. Argumen yang menyatakan bahwa adanya pengetahuan dari pelaku tentang perbuatan yang dilakukannya itu merupakan subyek yang patut dihukum di masa datang, walaupun pada saat dilakukan perbuatan itu adalah legal. Argumen dimaksud menyimpulkan bahwa dalam keadaan apapun asas non-retroaktif tidak bisa digunakan untuk melindungi seorang pelaku yang tahu bahwa perbuatannya adalah salah.
    3. Argumen yang menyatakan bahwa asas umum dari keadilan dapat mengesampingkan keberadaan hukum positif. Suatu perbuatan yang walaupun pada saat dilakukannya bukan merupakan perbuatan pidana menurut hukum positif, dapat diterapkan hukum yang berlaku surut jika perbuatan itu bertentangan dengan asas keadilan yang bersifat umum.
    4. Argumen yang menyatakan bahwa asas hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik. Oleh karena itu walaupun menurut hukum domestik sebelumnya perbuatan itu tidak melanggar hukum tetapi asas non-retroaktif dapat dikesampingkan karena perbuatan itu melanggar asas hukum positif internasional.
    5. Argumen yang menyatakan bahwa asas non-retroaktif dapat dikesampingkan melalui penafsiran kembali (re-interpretation) hukum yang berlaku sebelumnya. Dengan menggunakan penafsiran kembali terhadap hukum yang berlaku pada saat perbuatan dilakukan, maka perbuatan yang semula tidak merupakan perbuatan yang dapat dihukum menjadi perbuatan yang dapat dihukum.
    6. Argumen yang menyatakan bahwa perbuatan itu menurut hukum yang berlaku pada saat dilakukannya, sebenarnya telah merupakan pelanggaran yang jelas terhadap hukum yang berlaku saat itu.
    4) Menimbang bahwa di samping aliran pandangan yang diuraikan di atas, ternyata sebagian terbesar para sarjana hukum di dunia – dengan memperhatikan perkembangan pandangan sebagaimana tersebut – tetap berpendapat bahwa bagaimanapun juga asas non-retroaktif itu tidak dapat dikesampingkan hanya atas dasar alasan seperti tercermin dalam aliran pandangan di atas. Oleh karena itu, terlepas dari adanya perbedaan pendapat di antara para hakim konstitusi, Mahkamah berpendapat :
    1. Bahwa pada dasarnya hukum itu harus berlaku ke depan (prospectively). Adalah tidak fair, jika seseorang dihukum karena perbuatan yang pada saat dilakukannya merupakan perbuatan yang sah. Adalah tidak fair pula jika pada diri seseorang diberlakukan suatu ketentuan hukum yang lebih berat terhadap suatu perbuatan yang ketika dilakukannya diancam oleh ketentuan hukum yang lebih ringan, baik yang berkenaan dengan hukum acara (procedural), maupun hukum material (substance).
    2. Bahwa asas non-retroaktif lebih mengacu kepada filosofi pemidanaan atas dasar pembalasan (retributive), padahal asas ini tidak lagi merupakan acuan utama dari sistem pemidanaan di negara kita yang lebih merujuk kepada asas preventif dan edukatif.
    3. Bahwa telah menjadi pengetahuan umum bahwa pengesampingan asas non-retroaktif membuka peluang bagi rezim penguasa tertentu untuk menggunakan hukum sebagai sarana balas dendam (revenge) terhadap lawan-lawan politik sebelumnya. Balas dendam semacam ini tidak boleh terjadi, oleh karena itu harus dihindari pemberian peluang sekecil apapun yang dapat memberikan kesempatan ke arah itu.
    4. Bahwa saat ini tengah berlangsung upaya penegakan hukum (rule of law) termasuk penegakan peradilan yang fair. Adapun jaminan minimum bagi suatu proses peradilan yang fair adalah : asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), persamaan kesempatan bagi pihak yang berperkara, pengucapan putusan secara terbuka untuk umum, asas ne bis in idem, pemberlakuan hukum yang lebih ringan bagi perbuatan yang tengah berproses (pending cases), dan larangan pemberlakuan asas retroaktif. Dengan mengacu kepada syarat-syarat minimum tersebut di atas maka Undang-undang No. 16 Tahun 2003 justru berselisihan arah dengan jaminan bagi suatu peradilan yang fair, karena jelas-jelas telah melanggar salah satu syarat yang harus dipenuhi, yaitu pemberlakuan asas retroaktif.
    5) Menimbang bahwa dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwa semua hak asasi dapat dibatasi, kecuali dinyatakan sebaliknya dalam UUD.
    6) Menimbang bahwa terorisme memang merupakan suatu kejahatan yang sangat mengancam, mengerikan dan menyebabkan ketakutan masyarakat, meskipun sampai saat ini belum ada definisi dan pemahaman yang universal tentang apa yang disebut terorisme tersebut. Kecenderungan yang terjadi lebih menekankan One Dimensional Conception on Terrorism, dengan konstruksi gagasan bahwa terorisme secara dominan dan resmi didefinisikan dalam kerangka yang one direction, dalam pengertian bahwa pelaku yang ditunjuk bersifat tunggal, yakni semata-mata non-state actors, sehingga dengan demikian, tindakan terorisme senantiasa dilihat dalam kegiatan yang menurut istilah Johan Galtung (Exiting From The Terrorism-State Terrorism Vicious Cycle : Some Psychological Conditions, 2001) sebagai terrorism from below, seperti yang ditunjukkan dalam definisi terorisme oleh League of Nations Convention, 1937 dan juga Resolusi PBB No.50/186, 22 Desember 1995.Padahal, terorisme juga dapat dilakukan oleh negara (state terrorism) dalam bentuk berbagai kekerasan struktural (Michael Tilger, Terrorism and Human Rights, 2001).
    7) Menimbang bahwa terlepas dari masih rancu dan kontroversialnya pengertian dan makna terorisme seperti dikemukakan di atas, Mahkamah berpendapat bahwa segala bentuk terorisme memang harus diberantas, bahkan sampai kepada akar permasalahan dan penyebab awalnya, sesuai dengan harapan yang berkembang dalam masyarakat internasional. Oleh karena itu harus dibuat undang-undang yang memberikan jaminan untuk mencegah, menghindari dan memberantasnya. Undang-Undang dimaksud selain harus memberikan ancaman hukuman yang lebih berat, juga harus menjamin kemudahan bagi proses pengungkapan penanggulangan dan penindakannya.
    8) Menimbang bahwa Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang telah cukup memenuhi harapan para justisiabel (pencari keadilan). Namun Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tidak perlu diberlakukan surut, karena unsur-unsur dan jenis kejahatan yang terdapat dalam terorisme menurut undang-undang dimaksud sebelumnya telah merupakan jenis kejahatan yang diancam dengan pidana berat.
    9) Menimbang bahwa pemberlakuan prinsip retroaktif dalam hukum pidana hanyalah merupakan suatu pengecualian yang hanya dibolehkan dan diberlakukan pada perkara pelanggaran HAM berat (gross violation on human rights) sebagai kejahatan yang serius, yang merupakan jaminan terhadap hak-hak yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights). Sementara itu, yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat menurut Statuta Roma Tahun 1998 adalah kejahatangenosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi; sedangkan menurut Pasal 7 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat adalah hanya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.Dengan demikian, baik merujuk kepada Statuta Roma Tahun 1998, maupun Undang-undang No. 39 Tahun 1999, peristiwa peledakan bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 belumlah dapat dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime) yang dapat dikenai prinsip hukum retroaktif, melainkan masih dapat dikategorikan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) yang sangat kejam, tetapi masih dapat ditangkal dengan ketentuan hukum pidana yang ada. Perpu No. 1 Tahun 2002 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 mendapat banyak tantangan, karena secara legal formal digunakannya asas retroaktif sebenarnya tidak dapat diterapkan, sebab terorisme tidak termasuk kategori kejahatan yang bisa diterapkan asas retroaktif. Apabila terorisme dipandang telah bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM), namun ketentuan dan tindakan hukum untuk memberantasnya juga tak dapat mengesampingkan HAM, sebab di Amerika Serikat sendiri terdapat penilaian bahwa Terrorism Law is major setback for civil liberties.
    10) Menimbang bahwa selain pertimbangan yang telah dikemukakan tersebut di atas, Mahkamah perlu mempertimbangkan pula perkaitan dan keselarasan antara materi muatan (substansi) normatif yang terkandung di dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2003 dengan bentuk aturan hukum penuangannya. Dengan mengacu kepada teori yang secara umum dianut dalam ilmu hukum, yaitu Stufen Theorie des Recht dari Hans Kelsen, undang-undang sebagai produk legislatif berisi kaidah-kaidah hukum mengatur (regels) yang bersifat umum dan abstrak (abstract and general norms). Undang-undang tidak memuat kaidah-kaidah yang bersifat individual dan konkrit (individual and concrete norms), sebagaimana kaidah-kaidah yang terdapat dalam keputusan hukum yang dibuat oleh pejabat tata usaha negara yang berupa penetapan administrasi (beschikking) ataupun produk hukum pengadilan berupa putusan (vonis). Karena itu, dapat dikatakan bahwa pada pokoknya bukanlah kewenangan pembentuk undang-undang untuk menerapkan sesuatu norma hukum yang seharusnya bersifat umum dan abstrak ke dalam suatu peristiwa konkrit, karena hal tersebut sudah seharusnya merupakan wilayah kewenangan hakim melalui proses peradilan atau kewenangan pejabat tata usaha negara melalui proses pengambilan keputusan menurut ketentuan hukum administrasi negara.
    11) Menimbang bahwa Undang-undang No. 16 Tahun 2003 yang berasal dari Perpu No. 2 Tahun 2002 bertanggal 18 Oktober 2002 berisi kaidah hukum berupa pernyataan pemberlakuan Undang-undang No. 15 Tahun 2003 yang berasal dari Perpu No.1 Tahun 2002 bertanggal 18 Oktober 2002. Pernyataan pemberlakuan suatu kaidah hukum terhadap peristiwa hukum yang bersifat konkrit tidak tepat, dan karenanya tidak dapat dibenarkan untuk dituangkan dalam bentuk produk legislatif berupa undang-undang, melainkan seharusnya merupakan material sphere pengadilan dalam menerapkan sesuatu kaidah hukum umum dan abstrak. Oleh karena itu, pemberlakuan Undang-undang No. 16 Tahun 2003 untuk menilai peristiwa konkrit, yaitu peristiwa peledakan bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang terjadi sebelum undang-undang tersebut ditetapkan, bertentangan dengan prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan yang dianut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam hal ini, pembentuk undang-undang dapat dianggap telah melakukan sesuatu yang merupakan kewenangan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sebagai kekuasaan yang merdeka, yang terpisah dari cabang kekuasaan pemerintahan negara yang diatur dalam Bab III ataupun dari cabang kekuasaan pembentukan undang-undang yang diatur dalam Bab VII dan Bab VIIA Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    12) Menimbang bahwa di samping itu, sekiranya pemberlakuan kaidah hukum oleh pembentuk undang-undang terhadap sesuatu peristiwa konkrit yang terjadi sebelumnya, sebagaimana dengan pemberlakuan Undang-undang No. 16 Tahun 2003 seperti tersebut di atas dibenarkan adanya, atau dianggap konstitusional oleh Mahkamah, maka hal tersebut di masa-masa yang akan datang dapat menjadi preseden buruk yang dijadikan rujukan bahwa pembentuk undang-undang dapat memberlakukan sesuatu kaidah hukum dalam undang-undang secara eksplisit atau expressis verbis terhadap satu atau dua persitiwa konkrit yang telah terjadi sebelumnya, hanya atas dasar penilaian politis (political judgement) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama Pemerintah bahwa peristiwa hukum yang telah terjadi sebelumnya itu termasuk kategori kejahatan yang sangat berat bagi kemanusiaan. Padahal, dalam kenyataannya untuk menanggulangi dan melakukan penindakan terhadap kejahatan dimaksud telah tersedia perangkat hukum yang cukup atau setidaknya belum terbukti bahwa berbagai perangkathukum yang tersedia tersebut telah dipergunakan secara maksimal dalam upaya menindak kejahatan dimaksud.
    13) Menimbang pula bahwa, melalui putusan Mahkamah, para penegak hukum Indonesia di manapun mereka berada perlu diyakinkan bahwa penindakan terhadap setiap bentuk kejahatan yang terjadi haruslah dilakukan dengan menegakkan hukum (law enforcement) secara adil dan pasti, bukan dengan cara membuat norma hukum baru (law making) melalui pembentukan Perpu ataupun Undang-Undang baru. Apalagi jika ternyata kebijakan legislasi semacam itu didasarkan atas pertimbangan yang bersifat politis (political judgement). Jikalau kejahatan yang terjadi di depan mata, selalu kita hadapi dengan membuat hukum baru, maka niscaya tidak akan pernah ada hukum yang kita tegakkan, karena hukum yang tersedia selalu dirasakan tidak mencukupi. Oleh sebab itu, Mahkamah berpendapat bahwa meskipun pembaruan hukum Indonesia yang menyeluruh dewasa ini sungguh sangat mendesak untuk dilakukan dalam upaya membangun sistem hukum yang makin tertib dan berkeadilan, namun tindakan penegakan hukum secara nyata tidak boleh ditunda-tunda karena pertimbangan bahwa hukum yang tersedia tidak sempurna. Keadilan yang ditunda sama dengan keadilan yang diabaikan (justice delayed, justice denied). Preseden kekeliruan seperti diuraikan di atas apabila dibiarkan dapat merusak sendi-sendi negara hukum, karena membenarkan pertimbangan politik dijadikan sebagai panglima yang paling menentukan berlaku tidaknya sesuatu kaidah hukum ke dalam sesuatu peristiwa yang bersifat konkrit dan membiasakan tindakan yang salah yaitu mengatasi suatu peristiwa kejahatan yang bersifat konkrit dengan membuat hukum baru. Preseden semacam itu akan memperlemah upaya perwujudan prinsip negara hukum sebagaimana yang seharusnya ditegakkan berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang secara tegas menyatakan bahwa "Negara Indonesia adalah negara hukum". Padahal, hakikat keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai pelembagaan upaya untuk mengawal konstitusi dan menegakkan prinsip supremasi hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah era reformasi, tidak lain ialah upaya untuk memperkuat perwujudan cita-cita Negara Hukum itu.
    14) Menimbang bahwa selain dari kelemahan ditinjau dari segi bentuknya, dan juga kekeliruan dari sudut kewenangan pembentuk undang-undang untuk memberlakukan sesuatu kaidah hukum yang bersifat abstrak terhadap sesuatu peristiwa yang bersifat konkrit, dan karena itu bertentangan dengan prinsippemisahan kekuasaan kehakiman yang dianut oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan Undang-undang No. 16 Tahun 2003 tersebut memang ternyata dapat dikatakan sebagai undang-undang yang diberlakukan surut (ex post facto law atau rectroactive legislation) sebagaimana dimaksud oleh ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
    15) Menimbang bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas Mahkamah berpendapat permohonan dari Masykur Abdul Kadir harus dikabulkan, karena Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 bertentangan dengan ketentuan dan semangat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, dan oleh karena itu Mahkamah menyatakan bahwa Undang-undang Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada point (15) di atas dapat disimpulkan bahwa muatan isi dari UU No.16 Tahun 2003 bertentangan dengan hak asasi manusia yang berupa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut yang dijamin dalam pasal 28I UUD 1945.
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
  1. Sebab/alasan Pemerintah dan DPR memberlakukan dan mengesahkan Undang-Undang No.16 Tahun 2003 tentang Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada Peristiwa PeledakanBom di Bali tanggal 12 Oktober 2002, walaupun itu melanggar prinsip asas non-retroaktif serta bertentangan dengan pasal 28I UUD 1945 adalah :
    1. Bahwa menurut Pemerintah dan DPR, pemberlakukan hukum secara surut terhadap peristiwa bom Bali adalah sah karena peristiwa tersebut adalah merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), karena mengakibatkan hilangnya nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda
    2. Peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat itu belum secara komprehensif dan memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme.
    3. Sejalan dengan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

2. Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU No.16 Tahun 2003 yang diajukan oleh salah satu terdakwa kasus peristiwa bom Bali yaitu Masykur Abdul Kadir adalah mengabulkan permohonan Pemohon (Masykur Abdul Kadir) dan menyatakan bahwa UU No.16 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini tentunya memberikan suatu garansi dan jaminan pengakuan atas hak asasi manusia yang telah dijamin dalam UUD 1945, terkhusus dalam kasus ini adalah hak asasi berupa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, 2005. Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional. Jakarta : Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.
Mahfud MD, Moh, 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Asshiddiqie, Jimly, 2006. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Konstitusi Press.
Soemantri, Sri, 2006. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi (Edisi Kedua). Bandung : Penerbit PT.Alumni
Asshiddiqie, Jimly, 2008. Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (makalah pada Peringatan 10 Tahun Kontras (Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan).
Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI). Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dalam Satu Naskah